Jadilah Orang Yang Dekat Dengan Al-Qur’an (Ahli Al-Qur’an)

Siapa tidak ingin menjadi ahli Al-Qur’an (orang yang dekat dengan Al-Qur’an)? Inilah kedudukan hamba yang paling mulia dan tinggi di sisi Allah Azza wa Jalla. Cukuplah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini menunjukkan agungnya kedudukan ini:

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنَ النَّاسِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ هُمْ؟ قَالَ: هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ، أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ

“Sesungguhnya di antara manusia ada yang menjadi ‘ahli’ Allah”. Para Sahabat radhiyallahu ‘anhum bertanya, “Wahai Rasulullah! Siapakah mereka?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka adalah ahli Al-Qur’an, (merekalah) ahli (orang-orang yang dekat dan dicintai) Allah dan diistimewakan di sisi-Nya.” (HR. Ahmad dan lainnya).

Hadits ini menunjukkan tingginya kedudukan dan kemuliaan orang-orang yang menjadi ahli Al-Qur’an, karena mereka disebut sebagai ‘ahli Allah’. Artinya merekalah para wali (kekasih) Allah Azza wa Jalla yang sangat dekat dan istimewa di sisi-Nya, sebagaimana seorang manusia dekat dengan ‘ahli’ (keluarga)nya. Gelar ini merupakan bentuk pemuliaan dan pengagungan terhadap mereka.

Keutamaan dan kemuliaan besar ini tentu menjadikan setiap orang yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan hari akhir, berusaha untuk mengejar dan meraihnya. Apalagi Allah Azza wa Jalla telah menjanjikan bahwa Al-Qur’an akan Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan mudah sebagai petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang beriman, termasuk dalam hal memahami kandungannya dan meraih kemuliaan sebagai ahlinya.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an untuk peringatan atau pelajaran, maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran? (Al-Qamar/54:17)

Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Makna ayat ini: Sungguh Kami telah menjadikan Al-Qur’an yang mulia itu mudah, lafazhnya mudah untuk dihafalkan dan disampaikan, juga maknanya mudah untuk dipahami dan dimengerti. Karena Al-Qur’an adalah perkataan yang paling indah lafazhnya, yang paling benar maknanya, dan paling jelas penafsirannya. Maka setiap orang yang menghadapkan dirinya, Allah Azza wa Jalla akan memudahkan baginya dan meringankannya untuk mencapai tujuan tersebut.

Peringatan atau pelajaran yang dimaksud dalam ayat ini meliputi semua bentuk peringatan atau pelajaran bagi manusia, baik berupa penjelasan halal dan haram, hukum-hukum perintah dan larangan, hukum-hukum balasan (ganjaran pahala atau siksaan di akhirat), nasehat-nasehat dan perenungan, keyakinan-keyakinan yang bermanfaat serta berita-berita yang benar.

Oleh karena itu, ilmu tentang Al-Qur’an, menghafalnya atau memahami tafsirannya, adalah ilmu yang paling mudah dan paling tinggi secara mutlak. Inilah ilmu yang bermanfaat. Jika seorang hamba  mempelajarinya maka dia akan ditolong. Salah seorang Ulama Salaf mengomentari ayat ini dengan mengatakan, “Apakah ada orang yang (mau bersungguh-sungguh) menuntut ilmu (mempelajari Al-Qur’an) sehingga Allah Azza wa Jalla akan menolongnya?.

Oleh karena itu, Allah mengajak para hamba-Nya untuk menghadapkan diri dan (bersungguh-sungguh) mempelajari Al-Qur’an, dalam firman-Nya:

فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

… Maka adakah orang yang (mau) mengambil pelajaran?

Cukuplah firman Allah Azza wa Jalla berikut ini untuk menunjukkan betapa tinggi kemuliaan dan keutamaan orang-orang yang dianugerahi pemahaman Al-Qur’an yang benar:

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ

Katakanlah, “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang beriman) bergembira (berbangga), karunia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa (kesenangan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia) (Yunus/10:58)

Dalam ayat ini Allah Azza wa Jalla memerintahkan orang-orang yang beriman agar mereka merasa bangga (gembira dan bahagia) dengan anugerah yang Allah Azza wa Jalla limpahkan kepada mereka. Anugerah yang berupa pemahaman terhadap Al-Qur’an dan kesempurnaan iman. Dan Allah Azza wa Jalla menyatakan bahwa anugerah dari-Nya itu lebih indah dan lebih mulia dari semua kesenangan dunia yang diperebutkan oleh kebanyakan manusia. ”Karunia Allah” dalam ayat ini ditafsirkan oleh para Ulama ahli tafsir dengan “keimanan”, sedangkan “Rahmat Allah” ditafsirkan dengan “Al-Qur’an”. Keduanya (yaitu keimanan dan Al-Qur’an) adalah ilmu yang bermanfaat dan amalan shaleh, sekaligus keduanya merupakan petunjuk dan agama yang benar (yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Bahkan keduanya merupakan ilmu yang paling tinggi dan amal yang paling utama.

Dalam sebuah hadits yang shahih, dari Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

“Sebaik-baik orang di antara kamu adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. al-Bukhari).

Hadits yang agung ini menunjukkan tingginya keutamaan orang yang mempelajari Al-Qur’an, mempelajari cara membacanya dengan tajwid yang benar, memahami kandungannya dan berusaha menghafalnya dengan baik, kemudian mengajarkannya kepada orang lain, agar petunjuk dan kebaikan yang terkandung di dalamnya tersebar dan di amalkan manusia. Bahkan sebagian dari Ulama mengatakan bahwa barangsiapa mengikhlaskan niatnya dan selalu menyibukkan diri dengan mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya, maka termasuk ke dalam golongan para Nabi ‘alaihissallam.

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Barangsiapa mempelajari Al-Qur’an maka akan tinggi kedudukannya.”

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Mempelajari dan mengajarkan Al-Qur’an  mencakup mempelajari dan mengajarkan lafazhnya, juga mempelajari dan mengajarkan kandungan maknanya.”

Dan masih banyak ayat Al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjelaskan hal ini, cukuplah ayat dan hadits di atas sebagai contoh yang menggambarkan betapa agung kedudukan orang yang memahami Al-Qur’an.

Agungnya kedudukan orang yang memahami Al-Qur’an, juga semakin terlihat jelas dengan merenungkan besarnya fungsi diturunkannya Al-Qur’an itu sendiri, yaitu sebagai sumber petunjuk dalam kebaikan dan obat penyakit hati manusia.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ

Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu nasehat atau pelajaran dari Rabbmu (Alquran) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman (Yunus/10:57)

Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla mengabarkan tentang anugerah besar yang diturunkan kepada para hamba-Nya, yaitu Al-Qur’an yang mulia. Karena di dalam Al-Qur’an terdapat nasehat untuk menjauhi perbuatan maksiat, penyembuh bagi penyakit hati, yaitu kelemahan iman, keragu-raguan dan kerancuan dalam memahami agama, serta penyakit syahwat yang merusak hati. Juga terdapat petunjuk, yaitu bimbingan bagi orang yang merenungkan, memahami, dan mengikuti Alquran ke jalan yang bisa mengantarkannya ke surga, serta sebab-sebab untuk mendapatkan rahmat Allah Azza wa Jalla yang terkandung di dalamnya.

Dalam ayat lain, Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا

Sesungguhnya Alquran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar (Al-Isra’/17:9)

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “(Dalam ayat ini) Allah Azza wa Jalla mengabarkan tentang kemuliaan dan keagungan Al-Qur’an, bahwa kitab ini memberikan petunjuk menuju (jalan) yang paling lurus dan paling mulia dalam keyakinan, amal dan akhlak. Sehingga barangsiapa mengikuti petunjuk yang diserukan dalam Al-Qur’an, maka dia akan menjadi orang yang paling sempurna, paling lurus dan paling terbimbing dalam segala urusannya.”

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menegaskan tingginya kedudukan dan sempurnanya petunjuk Al-Qur’an dalam semua kebaikan dan keutamaan. Beliau rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu kitabpun di kolong langit yang mengandung bukti-bukti dan argumentasi tentang perkara-perkara mulia yang dituntut (dalam Islam), yaitu tauhid, penetapan sifat-sifat Allah, hari kebangkitan dan kenabian, juga sanggahan terhadap kelompok-kelompok yang menyimpang dan pemikiran-pemikiran yang rusak, tidak ada satupun yang seperti Al-Qur’an. Sesungguhnya Al-Qur’an menjamin dan menanggung semua itu dalam bentuk yang paling baik dan sempurna, paling masuk akal, serta paling jelas penjabarannya. Maka Al-Qur’an merupakan obat penyembuh yang sejati bagi penyakit-penyakit syubhat (kerancuan dalam memahami Islam) dan keragu-raguan.

Namun, semua itu bergantung pada pemahaman dan penghayatan terhadap kandungan makna Al-Qur’an. Barangsiapa dinugerahkan oleh Allah Azza wa Jalla hal itu, maka dia akan dapat membedakan kebenaran dan kebatilan secara jelas dengan hatinya, sebagaimana dia bisa memandang (dan bisa membedakan dengan jelas) siang dan malam hari.”

Saudaraku kaum muslimin,

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Jika kamu ingin mendapatkan manfaat dari (petunjuk) Al-Qur’an, maka pusatkanlah hatimu ketika membaca dan menyimaknya, fokuskanlah pendengaranmu, serta hadirkanlah dirimu sebagaimana hamba Allah (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang menerima Al-Qur’an ini  menghadirkan dirinya (ketika diturunkan Alquran kepada Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam). Karena sesungguhnya Al-Qur’an ini (sejatinya) merupakan petunjuk bagimu dari Allah melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam”.

Petunjuk dan manfaat Al-Qur’an sebagai nasehat dan peringatan, hanya akan Allah Azza wa Jalla anugerahkan kepada hamba-Nya yang memiliki hati yang hidup (sehat dan jauh dari kotoran penyakit hati) dan terbuka untuk menerima petunjuk-Nya. Sebagaimana makna firman-Nya:

إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ

Sesungguhnya pada yang demikian itu (kisah-kisah dalam Al-Qur’an) benar-benar terdapat peringatan (pelajaran) bagi orang-orang yang mempunyai hati (yang hidup/bersih) atau yang mengkonsentrasikan pendengarannya, sedang dia menghadirkan (hati)nya (Qaf/50:37)

Juga firman-Nya:

إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِينٌ ﴿٦٩﴾ لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ الْقَوْلُ عَلَى الْكَافِرِينَ

Al-Qur’an itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan, supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir (Yasin/36:69-70)

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan hati (dalam ayat) ini adalah hati yang hidup (bersih dari noda syahwat atau syubhat) yang bisa memahami (peringatan atau petunjuk) dari Allah.”

Oleh karena itu, upaya untuk memasukkan makna dan kandungan Al-Qur’an ke dalam hati, ini merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan manfaat dan nasehat dari petunjuk Al-Qur’an. Dengan inilah Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji para hamba-Nya yang beriman dalam firman-Nya:

بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ ۚ وَمَا يَجْحَدُ بِآيَاتِنَا إِلَّا الظَّالِمُونَ

Sebenarnya, Alquran itu adalah ayat-ayat yang jelas di dalam dada (hati) orang-orang yang berilmu. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami kecuali orang-orang yang zhalim(al-‘Ankabut/29: 49).

Upaya ini tidak lain adalah berusaha membaca Al-Qur’an dengan memahami maknanya, merenungkan kandungnya dan menghayati petunjuknya, sebagaimana ucapan Imam Ibnul Qayyim yang kami nukilkan di atas, “ … namun semua (manfaat dan petunjuk Al-Qur’an) itu bergantung pada pemahaman dan penghayatan terhadap kandungan makna Al-Qur’an.”

Oleh karena itu, orang-orang yang hati mereka hidup dengan iman kepada Allah Azza wa Jalla , mereka inilah yang akan bertambah kuat dan sempurna keimanan dan kebaikan dalam diri mereka setiap kali mereka mendengarkan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an yang merupakan bentuk dzikir kepada Allah Azza wa Jalla yang paling agung, sebagaimana firman-Nya:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka Ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan hanya kepada Allah mereka bertawakkal.” (al-Anfal/8:2)

Maka orang yang beriman dengan benar adalah orang yang ketika berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, hatinya menjadi takut dan tunduk kepada-Nya. Ini akan menjadikannya selalu menjauhi perbuatan maksiat kepada-Nya. Karena bukti terbesar rasa takut yang benar kepada Allah adalah menjadikan orang tersebut menjauhi perbuatan dosa dan maksiat.

“Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah iman mereka”. Karena orang yang beriman ketika mendengarkan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an, dia benar-benar mendengarkannya dengan seksama dan menghadirkan hatinya untuk merenungkan kandungannya. Ketika itulah imannya bertambah dan semakin kuat. Karena dengan merenungkan kandungannya dia akan mendapatkan penjelasan hal-hal yang tidak diketahuinya sebelumnya, mengingatkan akan kelalaiannya, menumbuhkan motivasi kebaikan dalam dirinya, semangat untuk mengejar kemuliaan di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasa takut terhadap siksa-Nya. Semua perkara ini akan menumbuhkan dan menyempurnakan keimanannya.”

Al-Qur’an diturunkan untuk dibaca dan direnungkan maknanya, serta dihayati petunjuknya, agar bisa menjadi sebab kebaikan bagi diri manusia, lahir dan batin. Allah Azza wa Jalla berfirman:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah kitab (al-Qur’an) yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka merenungkan (makna) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran (Shad/38:29)

Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Demi Allah! Bukanlah mentadabburi Al-Qur’an dengan (hanya) dengan menghafal huruf-huruf (lafazh)nya tapi melalaikan hukum-hukum (kandungan)nya. Sampai-sampai salah seorang dari mereka berkata, “Aku telah membaca Al-Qur’an) seluruhnya”, tapi tidak terlihat pada dirinya (aplikasi terhadap Al-Qur’an) dalam akhlak dan perbuatannya.”

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Memperhatikan (merenungkan) Al-Qur’an, artinya adalah memfokuskan mata hati terhadap kandungan maknanya serta menfokuskan pikiran untuk merenungkan dan memahaminya. Inilah maksud (tujuan) diturunkannya Al-Qur’an, bukan hanya sekedar dibaca (lafazhnya) tanpa pemahaman dan penghayatan.”

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Inilah hikmah diturunkannya Al-Qur’an, agar manusia merenungkan ayat-ayatnya, sehingga mereka bisa menyimpulkan ilmu-ilmunya, serta mengamati rahasia dan hikmahnya. Maka dengan merenungkan, menghayati dan memikirkan (kandungan) Al-Qur’an berulang kali, akan diraih keberkahan dan kebaikannya. Ini menunjukkan anjuran untuk merenungkan (makna) Al-Qur’an, bahkan ini termasuk amal (shaleh) yang paling utama dan sesungguhnya membaca Al-Qur’an yang disertai perenungan terhadap maknanya lebih utama dari pada membacanya dengan cepat tanpa disertai perenungan.”

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Mentadabburi (merenungkan dan menghayati) Al-Qur’an termasuk cara dan sarana terbesar untuk menumbuhkan dan menguatkan keimanan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ

Ini adalah sebuah kitab (Al-Qur’an) yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka merenungkan (makna) ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran (Shad/38:29)

Maka mengeluarkan keberkahan Al-Qur’an, yang terpenting di antaranya adalah menumbuhkan keimanan, cara dan metodenya adalah dengan merenungkan dan menghayati ayat-ayatnya.”

Inilah metode para Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Tabi’in (generasi setelah para Sahabat radhiyallahu ‘anhum) ketika mempelajari dan mendalami Al-Qur’an.

Imam Abu ‘Abdirrahman ‘Abdullah bin Habib as-Sulami al-Kufi rahimahullah berkata, “Kami mempelajari Al-Qur’an dari suatu kaum (para Sahabat radhiyallahu ‘anhum); ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dan selain mereka berdua. Mereka menyampaikan kepada kami bahwa dulunya ketika mereka mempelajari (Al-Qur’an) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sepuluh ayat, maka mereka tidak akan melewati ayat-ayat tersebut sampai memahami kandungan isinya, dalam ilmu dan amal. Mereka berkata, “kami (dulu) belajar Al-Qur’an, memahami kandungannya dan pengamalannya secara keseluruhan.”

Di dalam Al-Qur’an, Allah Azza wa Jalla menerangkan keburukan besar pada diri orang-orang munafik, yaitu hati mereka yang tertutup untuk menerima kebenaran. Karena mereka berpaling dari merenungkan dan menghayati kandungan Al-Qur’an. Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا

Apakah mereka tidak mentadabbur (merenungkan kandungan makna) Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci (tertutup untuk menerima kebenaran)? (Muhammad/47:24).

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Arti ayat ini, apakah orang yang berpaling itu tidak mentadabbur Al-Qur’an dan tidak menghayatinya dengan benar? Padahal kalau mereka mentadabburinya, maka Al-Qur’an akan membimbing mereka kepada semua kebaikan, memperingatkan mereka dari semua keburukan, mengisi hati mereka dengan iman dan jiwa meraka dengan keyakinan (yang benar). Sungguh Al-Qur’an akan membawa mereka meraih kedudukan yang tinggi dan karunia yang sangat agung. Al-Qur’an akan menjelaskan kepada mereka jalan yang mengantarkan kapada Allah, kepada surga disertai hal-hal yang menyempurnakan kenikmatannya atau hal-hal yang menghalangi untuk meraihnya. Al-Qur’an juga menjelaskan jalan yang mengantarkan kapada azab dan hal-hal yang harus dijauhi. Al-Qur’an akan mengenalkan mereka kepada Allah (dengan menjelaskan) nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya dan kebaikan-Nya. Al-Qur’an akan membangkitkan kerinduan mereka untuk pahala yang besar dan menjadikan mereka takut akan siksaan-Nya yang pedih.”

Allah Azza wa Jalla berfirman:

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

Orang-orang yang telah kami beri (turunkan) al-kitab (Al-Qur’an) kepada mereka, mereka mentilawah (membaca)nya dengan tilawah yang sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang beriman kepadanya. Dan barangsiapa yang ingkar kepadanya, maka mereka itulah orang-orang yang rugi (dunia dan akhirat) (Al-Baqarah/2:121)

Ketika menjelaskan firman Allah Azza wa Jalla di atas, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tilawah Al-Qur’an meliputi tilawah (membaca) lafazhnya dan tilawah (memahami) makna (kandungan)nya. Tilawah makna Al-Qur’an lebih mulia (utama) daripada sekedar tilawah lafazhnya. Dan orang-orang yang memahami kandungan Al-Qur’an merekalah ahli Al-Qur’an, yang dipuji di dunia dan akhirat, karena merekalah yang ahli sejati dalam membaca dan mengikuti (petunjuk) Al-Qur’an.”

Inilah makna hadits yang kami sebutkan di awal tulisan ini:

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ لِلَّهِ أَهْلِينَ مِنَ النَّاسِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ هُمْ؟ قَالَ: هُمْ أَهْلُ الْقُرْآنِ، أَهْلُ اللَّهِ وَخَاصَّتُهُ

“Sesungguhnya di antara manusia ada yang menjadi ‘ahli’ Allah”. Para Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah! Siapakah mereka?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka adalah ahli Al-Qur’an, (merekalah) ahli (orang-orang yang dekat dan dicintai) Allah dan diistimewakan di sisi-Nya.” (HR. Ahmad dan lainnya)

Ahli Al-Qur’an adalah orang-orang beriman yang berusaha menghafalnya dan membacanya dengan benar, serta memahami dan mengamalkan kandungannya, jadi bukan hanya sekedar membaca dan menghafal lafazhnya.

Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela dan melaknat orang-orang Khawarij, padahal banyak di antara mereka yang menghafal dan banyak membaca Al-Qur’an, tapi mereka tidak memahaminya dan tidak mengambil manfaat dari petunjuknya.(24) Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ

“Mereka (orang-orang Khawarij) pandai membaca (menghafal) Al-Qur’an tapi tidak melampaui tenggorokan mereka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Inilah makna ucapan dari salah seorang ulama Salaf yang berkata, “Terkadang ada orang yang (pandai) membaca Al-Qur’an, tapi Al-Qur’an (justru) melaknat dirinya”.

Dalam hal ini, Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tujuan dari membaca Al-Qur’an adalah untuk memahami, merenungkan, mendalami (kandungan maknanya) dan mengamalkannya. Adapun membaca dan menghafalnya adalah sarana untuk (memahami) isinya, sebagaimana ucapan salah seorang Ulama salaf: “Al-Qur’an diturunkan untuk diamalkan, maka jadikanlah bacaannya sebagai amalan. Oleh karena itu, (yang disebut) ahli Al-Qur’an adalah orang-orang yang memahami isinya dan mengamalkan (petunjuk)nya, meskipun mereka tidak menghafalnya di luar kepala. Adapun orang yang menghafal Al-Qur’an, tapi tidak memahami (kandungan)nya dan tidak mengamalkan petnjuknya, maka dia bukanlah ahli Al-Qur’an, meskipun dia mampu menegakkan huruf-hurufnya (lafazhnya) seperti tegaknya anak panah. Juga dikarenakan keimanan adalah amalan yang paling utama, sedangkan memahami dan merenungkan Al-Qur’an inilah yang membuahkan iman. Adapun hanya sekedar membacanya tanpa memahami dan merenungkannya, maka ini bisa dilakukan oleh orang yang shaleh maupun jahat, dan orang yang beriman maupun munafik, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

مَثَلُ الْمُنَافِقِ الَّذِي يَقْرَأُ الْقُرْآنَ مَثَلُ الرَّيْحَانَةِ، رِيحُهَا طَيِّبٌ وَلَا طَعْمَ لَهَا

“Perumpamaan orang munafik yang membaca Al-Qur’an adalah seperti (tumbuhan) raihanah, baunya harum tetapi rasanya pahit.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

***

(Diadaptasi dari tulisan Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, M.A. di majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XIX/1436H/2015).

PIC

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *