Telling Islam To The World – Part 5

Telling Islam to the world- lima
Imam Shamsi Ali*

Dakwah ilallah

Perubahan ke arah positif itulah substansi dakwah atau ajakan. Oleh karenanya sejujurnya tugas suci ini menekankan pada dua kata: dakwah & ilallah.

Dakwah berarti ajakan. Makan berdakwah berarti mengajakan manusia kepada sesuatu. Yang menentukan kemudian adalah substansi ajakan itu. Ajakan apa, kemana, dan juga bagaimana bentuknya.

Di sisi inilah kita dapati bahwa syetan juga adalah da’i: “was syaethonu yad’ukum ilan naar”. Bahwa dakwah itu banyak ditentukan oleh substansi dan metodenya. Jika substansinya buruk, dan diperburuk oleh metode penyampaiannya maka boleh jadi itu dakwah. Tapi dakwah “syaethoni” yang justeru bisa membawa kepada neraka.

Oleh sebab itu kata kedua “ilallah” sangat menentukan dan mengikat. Jika substansi “keilahian” hilang maka dakwah tersebut akan terjatuh ke dalam perangkap “da’wah syathoniyah” yang mengajak kepada neraka.

Dakwah yang mengajak kepada Allah atau “jalan Allah” (fii sabiililla), sebagaimana “jihad fii sabilillah” sangat sensitif. Kesensitifannya ada pada dua hal. Pertama, substansi dakwahnya (what). Kedua, metode dakwahnya (how).

Kedua hal itu (what dan how) akan menentukan apakah dakwah itu benar atau sebaliknya. Inilah yang kemudian diingatkan oleh Allah dengan tegas: “ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan cara yang bijak” (bil hikmati).

Kata “bil hikmati” (metode) juga ikut menentukan apakah dakwah itu “fii sabilillah” atau “fii sabiilis syaethon”. Dakwah di jalan Allah selain “suci dalam motif” (ikhlas), juga menempuh “cara suci”.

Suci dalam motif berarti dakwah tidak punya tendensi apapun selain karena semangat membawa perubahan positif dalam kehidupan manusia demi penyelamatan (salvation) manusia dan peradaban. Apapun yang datang di antara atau di penghujung dakwah, kekuasaan misalnya, adalah hasil alami dari dakwah itu sendiri. Tapi seorang da’i fi sabilillah tidak dimotivasi oleh kekuasaan dan dakwahnya.

Sementara menempuh cara suci berarti melakukan dakwahnya dalam batas-batas yang dibenarkan oleh Islam. Dakwah dengan menakuti, mengintimidasi dan memaksa orang lain adalah cara yang kotor. Karena jelas dakwah dengan cara seperti itu bertentangan dengan Islam (tiada paksaan dalam beragama). Bahkan bertentangan dengan tabiat “iman” yang harusnya dibangun di atas kesadaran hati sepenuhnya.

Dakwah itu persuasif

Oleh karena esensi dakwah adalah “ajakan” maka persuasi menjadi sangat mendasar.

Bayangkan apa yang terjadi jika kita mengajak tetangga untuk makan malam di rumah kita. Dan tetangga itu masih sangat asing dengan kita. Lalu pada saat mengundang itu kita memakai kata-kata yang kasar, bahkan menyakitinya. Apakah tetangga itu akan datang makan bersama kita? Saya sangat yakin dia akan menolak ajakan itu walaupun makanan yang kita siapkan adalah makanan lezat dan mewah.

Tapi seandainya ajakan kita itu dilakukan dengan pendekatan yang baik, persuasif dan tidak intimidatif, saya yakin dalam keadaan normal sang tetangga akan menerimanya dengan senang hati. Bahkan mungkin makanan yang kita sajikan itu sangat sederhana mereka akan bahagia.

Hal ini mengingatkan saya tentang sadaqah. Betapa Allah menekankan bahkan dalam bersadaqah atau berinfaq dengan cara yang benar. “Kata-kata yang baik itu lebih baik dari sadaqah yang disertai hal yang menyakitkan (adza)”.

Kalau saja bersadaqah diharuskan dengan cara yang baik, bagaimana dengan mengajak?

Oleh karena itu dakwah ilallah harusnya selalu menperhatikan “cara hikmah” dalam penyampaian. Sebab kalaupun secara substansi apa yang disampaikan benar, tapi cara penyampaiannya yang salah atau tidak sesuai maka boleh jadi kebenaran itu tersembunyi. Yang nampak justeru antitesis dari kebenaran.

Jika itu terjadi maka dakwah ilallah berbalik menjadi dakwah ilan naar. Dakwah tidak lagi berfungsi sebagai ajakan. Tapi berubah wajah menjadi “pengusiran” dari “Magfirah wa jannah” ke “neraka”.

Kenapa demikian? Karena orang yang diajak kepada kebaikan dengan cara yang tidak sesuai (metode yang salah) akan berbalik dari mengikuti atau minimal memahami dan simpatik menjadi meninggalkan bahkan membenci. Dan jika orang telah membenci maka sudah pasti dia akan semakin jauh dari kemungkinan untuk mendapatkan hidayah itu.

Di sinilah gerakan Telling Islam to the world sadar bahwa metode akan sangat menentukan perjalanannya. Bahwa Islam itu indah, kuat dan atraktif. Tapi semua itu akan juga banyak ditentukan oleh “bagaimana” penyampaiannya. Jangan-jangan dakwah (ajakan) kepada keindahan Islam berbalik menjadi pengusiran. Semoga tidak.

Bersambung

* Presiden Nusantara Foundation

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *