Telling Islam To The World – Part 9

Telling Islam to the world- sembilan
Imam Shamsi Ali*

Khaeriyatul Ummah atau kedudukan umat ini sebagai “umat terbaik” ditentukan oleh kesadaran akan tanggung jawab “telling Islam to the world”. Mungkin dalam bahasa Al-quran: “kamu menyeru manusia kepada yang ma’ruf, melarang dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah”.

Pemahaman ayat ini sebagai tanggung jawab dakwah didasari oleh kebanggaan umat ini sebagai umat nabi dan rasul terakhir (khatamun nabiyyin). Sebagai umat rasul terakhir maka secara alami kesinambungan tanggung jawab dakwah ini terjatuh ke atas pundak umat Muhammad SAW.

Dakwah menyeluruh

Oleh karena dakwah menjadi kunci “khaeriyatul ummah” maka dengan sendirinya dakwah harus meliputi segala aspek kehidupan. Dakwah harus bersifat “kaaffah” (menyeluruh), dan tentunya mencakup seluruh aspek kehidupan.

Salah satu dilema dakwah adalah karena selain seringkali dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan “nilai-nilai Islam” itu sendiri, seperti kesucian hati, ketegasan tekad, rasionalitas, kesabaran, serta visi besar. Juga dakwah seringkali bersipat parsial.

Sebagian du’at memusatkan perhatian pada sisi akidah, dan cenderung mengabaikan sisi-sisi muamalat (pergaulan antar makhluk dan linkungan) dan akhlaq. Akibatnya sering terjadi keinginan untuk membersihkan akidah di satu sisi. Tapi di sisi lain dengan enteng memusyrikkan, bahkan mengkafirkan seseorang yang tidak seide dalam penafsiran teks-teks agama.

Sebagian pula menekankan aspek “ubudiyah mahdhoh” agama ini. Tapi pada saat yang sama melupakan pentingnya berlemah lembut “ta’lif dan rahmah” dalam ukhuwah. Maka yang terjadi adalah begitu mudah membid’ahkan sesama jika tidak sejalan dalam pemahaman furu’i agama ini.

Maka dakwah Islam sejatinya menyeluruh dan imbang. Mencakup seluruh sisi agama (akidah, ibadah dan muamalat) di satu sisi. Dan mencakup seluruh sisi kehidupan manusia di sisi lain.

Keseimbangan dalam menyampaikan Islam (telling Islam) atau dakwah pada sisi-sisi agama Islam menjadikan dakwah itu saling melengkapi dan menjaga. Semangat membersihkan akidah dari penyelewengan atau syirk tidak harus menjadikan pelaku dakwah menjadi kasar karena kehilangan karakter Islam dalam prilaku.

Demikian juga dalam menyampaikan aspek ubudiyah agama ini. Tidak perlu menjadi penyebab permusuhan dan friksi di kalangan umat. Sayangnya dalam waktu-waktu terakhir penyakit inilah yang menggerogoti umat ini.

Rendah hati

Tawadhu’ atau rendah hati adalah salah satu “nilai kemanusiaan” (human value) yang sangat mulia. Arogansi atau takabbur, pada sisi mana saja dalam kehidupan ini adalah antitesis dari keimanan kepada Yang Maha Tinggi (Al-Aliy) dan Maha Besar (Al-Kabir wal Mutakabbir).

Hanya Allah yang punya hak “al-kibriyaa”. Karena memang segalanya bersumber dariNya. Sebaliknya semua makhluk rendah, tidak punya apa-apa dan tergantung sepenuhnya kepada As-Shomad (Allah Yang Maha cukup).

Tawadhu itu terekspresi pada dua sisi. Sisi pertama adalah kemampuan seseorang untuk mengakui kekuarangannya. Bahwa apapun dan bagaimanapun dia adalah makhluk yang memiliki kekurangan dan keterbatasan. Dan sisi kedua adalah kemampuan melihat kelebihan yang ada pada orang lain. Bahkan pada makhluk lain sekalipun. Bahwa betapapun keterbatasan yang ada pada orang lain di sekitar kita, dia pasti ada sesuatu atau kelebihan yang bisa disumbangkan.

Dalam dakwah kesadaran tawadhu’ begitu penting. Karena ini akan membangun kesadaran positif pertama kali akan kemanusiaan itu sendiri. Bahwa pada semua manusia, apapun keadaannya saat ini, punya nilai positif yang perlu dihargai. Dan inilah makna “fitrah Allah” yang bersifat abadi (laa tabdiila likhalqillah) itu.

Sebaliknya, walaupun keyakinan kita telah berpegang kepada kebenaran, tapi ekspresi kebenaran, khususnya dalam konteks menyampaikan kebenaran boleh jadi terkontaminasi oleh kekurangan-kekurangan diri kita sendiri.

Hal ini mengingatkan kita jeritan hati Rasulullah SAW ketika kekuar ke Thoif san disambut dengan resistensi yang kasar. Saat itu beliau tidak sepenuhnya menyalahkan umatnya. Justeru beliau seolah membela dengan mengatakan: faiinahum laa ya’lamuun (mereka tidak tahu).

Sebaliknya beliau dalam doa itu mengakui keterbatasan diri beliau dan strategi beliau dalam menyampaikan dakwah itu (dhu’fa quwati wa hiilata amri).

Oleh karenanya upaya telling Islam to the world (dakwah) itu perlu dibangun di atas karakter kemanusiaan kita yang mulia ini. Jangan sampai merasa paling suci dan sempurna. Karena yang demikian adalah penyakit “iblisme” yang sangat berbahaya.

Bersambung

* Presiden Nusantara Foundation

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *